Selasa, 22 Maret 2016

Hikmah Takut Kepada Allah

Shahih Bukhari 3219: Telah bercerita kepada kami Abu Al Walid telah bercerita kepada kami Abu 'Awanah dari Qatadah dari 'Uqbah bin 'Abdul Ghafir dari Abu Sa'id radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Ada seorang laki-laki dari umat sebelum kalian yang Allah berikan anugerah harta yang banyak. Orang itu berkata (kepada keluarganya) ketika menjelang kematiannya; "Ayah macam apakah aku ini di hadapan kalian?". Mereka menjawab; "Ayah yang baik". Orang itu berkata lagi; "Aku belum pernah beramal kebaikan sedikitpun. Untuk itu bila aku mati, bakarlah jasadku kemudian kumpulkan debu jasadku lalu buanglah pada hari datangnya angin kencang". Kemudian keluarganya melaksanakan apa yang dipesankannya. (Nanti pada hari qiyamat) Allah 'azza wajalla mengumpulkan debu jasadnya itu seraya berfirman: "Apa yang membuatmu menyuruh melakukan itu?". Orang itu menjawab; "KARENA AKU TAKUT KEPADAMU". Akhirnya orang itu BERJUMPA DENGAN ALLAH TA'ALA DENGAN MENDAPATKAN RAHMAT DARINYA". Dan Mu'adz berkata, telah bercerita kepada kami Syu'bah dari Qatadah aku mendengar 'Uqbah bin 'Abdul Ghafir, aku mendengar Abu Sa'id Al Khudriy dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.


 Shahih Muslim 4949: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Marzuq bin Binti Mahdi bin Maimun telah menceritakan kepada kami Rauh telah menceritakan kepada kami Malik dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Dahulu ada seorang laki-laki yang tidak pernah berbuat baik sama sekali. Lalu ia berpesan kepada istri dan keluarganya; 'Wahai keluargaku, apabila aku meninggal dunia, maka bakarlah mayatku! Setelah itu, buanglah sebagian tubuhku di daratan dan sebagian lagi di lautan. Demi Allah, jika Allah menakdirkan niscaya Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang tidak pernah Dia timpakan kepada makhluk lain di dunia ini.' Ketika orang tersebut meninggal, maka keluarganya pun melaksanakan pesannya, yaitu membakar jasadnya dan membuang sebagian ke daratan dan sebagian ke lautan. Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan daratan agar menyatukan jasad orang tersebut dan Allah pun memerintahkan lautan agar menyatukan jasad orang itu. Setelah jasad terkumpul menjadi satu kembali di alam barzakh, maka Allah pun bertanya kepadanya: 'Hai hamba-Ku, mengapa kamu memerintahkan keluargamu untuk melakukan tindakan seperti itu? ' Orang laki-laki itu menjawab; 'Ya Allah ya Tuhanku, aku lakukan itu karena aku takut akan siksa-Mu, sedangkan Engkau adalah Dzat Yang Maha Tahu.' Akhirnya Allah pun mengampuninya."


Sunan Nasa'i 2052: Telah mengabarkan kepada kami Katsir bin 'Ubaid dia berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harb dari Az Zubaidi dari Az Zuhri dari Humaid bin 'Abdurrahman dari Abu Hurairah dia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada seorang hamba yang berlebih-lebihan atas dirinya sendiri hingga kematian menjemputnya. Ia berkata berpesan keluarganya, "Jika aku mati, maka bakarlah aku, kemudian lumatkanlah aku lalu taburkanlah saat ada angin di laut. Demi Allah sungguh jika Allah mentakdirkan atas diriku, niscaya Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang tidak pernah ditimpakan kepada seorang pun dari makhluk-Nya! -Beliau bersabda-: Lalu keluarganya melakukan hal itu. Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman kepada segala sesuatu yang telah berikrar menghukumi dirinya sendiri 'Lakukanlah apa yang telah engkau putuskan untuk dirimu!." ketika ia berdiri di hadapan Allah -Azza wa Jalla - Dia berfirman, "Apa yang mendorongmu untuk melakukan apa yang telah engkau perbuat?" ia berkata; 'Rasa takut kepada-Mu."Lalu Allah mengampuninya." (Syaikh Al-Albani: Shahih)


 Sunan Ibnu Majah 4245: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya dan Ishaq bin Manshur keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq telah memberitakan kepada kami Ma'mar dia berkata; Az Zuhri berkata; "Maukah aku ceritakan kepadamu dua hadits yang menakjubkan? Telah mengabarkan kepadaku Humaid bin Abdurrahman dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Seorang laki-laki telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri, ketika kematian telah tiba, ia berwasiat kepada anaknya seraya berkata; "Apabila aku mati, maka bakarlah jasadku, kemudian jadikanlah aku debu, dan tebarkanlah debu itu biar di terpa angin laut. Demi Allah, seandainya Rabbku telah menentukan adzabku, tidaklah akan ada yang dapat mengadzabku." Beliau kembali bersabda: "Kemudian mereka melaksanakannya, lantas di katakanlah kepada bumi; "Kembalikanlah apa yang telah kamu ambil." Maka tiba-tiba orang tersebut telah berdiri, lalu di tanyakan kepadanya; "Apa yang mendorongmu melakukan perbuatan itu?" lelaki itu menjawab; "Karena takut kepada-Mu wahai Rabbku." Maka ia pun di ampuni."


Musnad Ahmad 10704: Telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah bin Hisyam berkata; telah menceritakan kepada kami Syaiban Abu Mu'awiyah berkata; telah menceritakan kepada kami Firas bin Yahya Al Hamdani dari 'Athiyyah Al 'Aufi dari Abu Sa'id Al Khudri berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang laki-laki masuk ke dalam surga padahal ia belum pernah melakukan kebaikan sedikitpun. Ia berkata kepada keluarganya ketika datang kematian kepadanya; 'Jika aku meninggal maka bakarlah jasadku, kumpulkan abuku dan buanglah sebagiannya ke dalam laut dan sebagian lagi ke daratan, ' maka Allah pun memerintahkan kepada daratan dan laut untuk mengumpulkannya, lalu mereka pun mengumpulkannya. Kemudian Allah berfirman; 'Apa yang mendorongmu melakukan itu? ' ia berkata; 'Rasa takutku kepada-Mu, '" beliau bersabda: "Maka iapun diampuni."


Sunan Darimi 2692: Telah mengabarkan kepada kami An Nadlr bin Syumail ia berkata; Telah mengabarkan kepada kami Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya ia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dahulu ada seorang hamba Allah di antara hamba-hambaNya yang tidak menganut agama Allah dan hidup hingga dari masa ke masa. Lalu ia menyadari bahwa dirinya belum menyimpan kebaikan di sisi Allah. Ia pun memanggil anak-anaknya seraya berkata; Ayah macam apa yang kalian ketahui tentang aku ini? Mereka menjawab; Yang terbaik, wahai ayahku. Ia berkata; Sesungguhnya aku tidak pernah meninggalkan harta pada salah seorang dari kalian yang bersumber dariku, kecuali aku mengambil harta itu dari kalian atau kalian harus melakukan apa yang aku perintahkan." Beliau melanjutkan: "Lalu ia sumpah kepada mereka, demi Rabbku. Ia berkata; Jika aku mati maka bawalah dan bakarlah aku dengan api hingga ketika aku telah menjadi arang, tumbuklah kemudian tebarkanlah aku di angin." Beliau melanjutkan lagi: "Ketika ia mati, demi Rabb Muhammad, mereka pun melakukan perintah itu. Kemudian ia didatangkan ke hadapan Rabbnya dalam keadaan yang terbaik dari keadaannya yang pernah ada. Dia berfirman: Apa yang mendorongmu dibakar dengan api? Ia menjawab; Rasa takutku kepadaMu ya Rabb. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku mendengarmu sebagai seorang yang takut kepadaKu." Beliau mengatakan: "Ia pun diterima taubatnya." Abu Ahmad berkata; Yabta`ir artinya menyimpan. (Husai Salim Asad Ad Daroni: Isnadnya Jayyid)

Kamis, 10 Maret 2016

Sisi Pendidikan Adab di Dalam Konsep Ekonomi Islam

Ahmad Musyaddad
Sisi Pendidikan Adab di Dalam Konsep Ekonomi Islam
(Catatan hari ini)

Pendidikan adalah suatu proses membentuk dan membangun kepribadian seseorang atau sekelompok orang secara bertahap hingga sampai pada batas sempurna. Sementara adab memiliki makna kehalusan budi pekerti, akhlak dan sikap. Adab tidak hanya terbatas pada perangai yang ditampakkan oleh seseorang di hadapan orang lain. Apa yang tampak dari kesopanan, santun, tutur kata dan tingkah laku yang mulia itu hanyalah bagian dari adab. Islam memaknai kata adab lebih luas dari apa yeng telah disebutkan, sebab kata adab sendiri merupakan kata kunci di dalam keberislaman kita.
Adab di dalam Islam meliputi orientasi hati yang merupakan gerak batin dan perangai mulia yang merupakan tampakan lahir. Dengan demikian, adab haruslah dipahami secara komprehensif sebagai usaha mencapai ridha Allah SWT dan memberikan manfaat bagi manusia yang lain.
Pada dasarnya, segala tuntunan yang ada di dalam syari’at Islam memiliki peranan yang utama di dalam membentuk kepribadian dan karakter seseorang. Ibadah yang bersifat mahdhah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji, selain merupakan hubungan yang berdimensi vertikal antara seorang hamba dengan Allah sebagai penunaian suatu kewajiban, juga menjadi instrumen yang bersifat vital dalam rangka mengokohkan jati diri dan karakter hamba tersebut.
Sejatinya, ibadah-ibadah tersebut dapat membangun kedisiplinan, mengasah kepekaan sosial, mengukuhkan peranan amal jama’i (kerja kolektif) dan melahirkan pribadi-pribadi dengan karakter dan kepribadian yang mulia.
Demikian juga jika kita berbicara dalam konteks ekonomi Islam. Syari’at Islam meletakkan seperangkat tuntunan didalam bertransaksi, berproduksi, mengkonsumsi dan mendistribusikan harta. Bahkan sebelum itu semua, Islam membangun paradigma yang unik tentang harta itu di benak setiap orang yang beriman, bahwa harta adalah titipan Allah SWT. Allah berfirman, “Dan berikanlah mereka dari harta yang dikaruniakan Allah kepada kalian” [QS. an-Nur: 33]. Paradigma ini sama sekali tidak pernah terbangun di dalam sistem-sistem ekonomi yang pernah dianut oleh manusia, baik sosialis maupun kapitalis.
Dengan sepenuh kesadaran bahwa harta adalah titipan Allah, maka seorang muslim akan terdorong untuk berusaha memelihara harta tersebut dengan cara yang benar, sesuai dengan tuntunan Allah yang telah menitipkan harta tersebut. Inilah yang kemudian mengarahkan hati-hati mereka untuk memperhatikan kewajiban berzakat, memberikan sedekah dan infak terbaik dari harta tersebut. Hal ini juga yang menjadikan mereka senantiasa menafkahkan harta itu di jalan yang baik, tidak boros, tidak tabdzir (membelanjakannya untuk sesuatu yang haram) dan tidak membelanjakannya untuk sesuatu yang sia-sia atau bahkan merusak kepribadiannya sebagai seorang muslim.
Allah SWT juga menegaskan paradigma lain tentang harta, bahwa ia adalah qiyam (penyangga) dan yang meneguhkan kehidupan dan agama. Harta itu adalah pokok kehidupan bermasyarakat dan pilar yang menyangga keberlangsungan suatu umat. Oleh sebab itu, Allah melarang hambaNya untuk memberikan penguasaan harta kepada seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kapasitas dan kredibelitas di dalam hal mengelola finansial. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu berikan kepada para sufaha’ (orang-orang yang lemah) harta kalian yang menjadi pokok kehidupan kalian”. Ayat ini berbicara dalam konteks harta anak yatim dan mahar bagi seorang mempelai wanita.
Coba kita perhatikan dengan cermat, jika dalam konteks yang sangat privat saja Allah melarang hambaNya menguasakan harta tersebut kepada anak yatim maupun wanita yang lemah dalam urusan harta, bagaimana dengan menguasakan harta tersebut untuk dikelola oleh suatu institusi yang berpotensi memusuhi kebenaran, menindas umat Islam dan melumpuhkan sendi-sendi ekonomi syari’ah?
Syari’at yang mulia ini juga mengatur cara yang tepat untuk memperoleh harta. Di dalam perspektif Islam, harta yang diperoleh dari jalan yang tidak sesuai dengan tuntunan syari’at, sekalipun nominalnya besar hanya akan mendatangkan kegelisahan dan petaka bagi pemiliknya. Sebaliknya, harta yang dihasilkan dengan cara yang amanah dan profesional, akan menjadi harta yang berkah, akarnya terhujam kokoh di bumi dan cabang-cabangnya menjulang membentang di langit. Itulah harta yang berkah, harta yang menggerakkan pemiliknya untuk menginvestasikannya demi tegaknya agama Allah. Harta yang baik, kata Nabi saw adalah harta yang berada digenggaman tangan orang-orang shaleh (HR. Ibnu Abi Dunya).
Oleh sebab itu, di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw, terdapat larangan yang tegas untuk memakan harta yang dihasilkan dengan jalan korupsi, risywah (suap), riba, pungutan liar, menipu, upah dari pekerjaan yang haram, seperti zina, perdukunan, perjudian dan lain sebagainya. Dan penting untuk dipahami dengan cermat, bahwa antara memakan harta riba tidak berbeda dengan memakan harta hasil mencuri, begitu juga memakan harta hasil pungutan liar maupun menipu orang lain sama haramnya dengan memakan harta hasil berzina maupun berjudi.
Dengan pemahaman yang integral seperti ini, seorang muslim akan lebih terbentuk karakternya dalam bekerja. Seorang muslim yang jiwanya telah tercerahkan dengan iman dan ilmu tentang harta yang boleh dan tidak boleh dia konsumsi akan senantiasa beradab di dalam bekerja dan adil di dalam berusaha. Dia akan pantang melakukan tindakan yang tidak amanah, dia akan senantiasa memiliki etos kerja yang baik dan akan memiliki tingkat kepekaan yang tajam terhadap segala bentuk tindakan dan ungkapan yang mampu mengeruhkan keberkahan harta yang akan diperolehnya. Semua ini terjadi, karena adab itu sudah melekat di dalam dinding jiwa orang tersebut, di mana ia lahir dari keimanan terhadap Allah yang senantiasa memantaunya. Selain itu, hal tersebut merupakan buah manis dari keberislaman seseorang secara benar yang terbangun di atas pondasi ilmu dan pemahaman yang konprehensif tentang makna adab di dalam ekonomi Islam.
Dalam konteks distribusi harta, Allah sama sekali tidak menghendaki perputaran harta itu hanya terjadi pada segelintir orang kaya. Allah tidak menginginkan terjadinya kesenjangan yang menganga antara kelompok kaya dan kaum dhu’afa. Oleh sebab itu, selain memberikan syari’at berkonsumsi, Allah juga memberikan seperangkat tuntunan yang menjamin keberlangsungan hidup orang miskin dan menjamin eksistensi proyek-proyek kebaikan di muka bumi. Allah syari’atkan zakat, infak dan sedekah agar orang-orang miskin dapat terangkat dari kemiskinannya. Allah turunkan ayat-ayat jihad dengan selalu menghimpun antara kekuatan jiwa dengan kekuatan finansial, sebagai bentuk pemeliharaan terhadap keberlangsungan dakwah dan proyek kebenaran. Sebagaimana Allah turunkan ayat-ayat warisan, agar keluarga muslim menjadi keluarga yang kuat, tidak hanya pada sisi keyakinan, namun juga secara finansial. Semua itu jika direnungkan, akan memupuk kepribadian dan karakter yang kuat bagi diri-diri kaum muslimin.
Demikian konsep ekonomi Islam menggariskan pembentukan nilai yang tinggi dan etika yang luhur dalam kehidupan. Tiadalah syari’at ini diturunkan oleh Allah SWT, melainkan untuk menjadi maslahat dan manfaat bagi manusia itu sendiri. Dan Allah tundukkan segala yang ada di muka bumi ini untuk manusia agar mereka senantiasa merealisasikan ibadah dengan segala maknanya hanya kepada Allah SWT. Agar seseorang tidak hanya beradab kepada sesama manusia, akan tetapi juga lebih beradab terhadap Tuhannya manusia.

SEKIAN

Mekah, 29 Jumadal Ula 1437 H
Ahmad Musyaddad Lc. MEI

Jumat, 04 Maret 2016

Ahmad Musyaddad

Hidup Rukun dan Bersatu padu
(Suatu catatan dari Mimbar Masjidil Haram. Disarikan dari khutbah jum'at Syeikh Sholeh Humaid)

Adanya perbedaan selera dan rasa, daya tangkap dan kecerdasan, tabiat dan karakter, serta tingkat kepuasan adalah sunnatullah dalam kehidupan.
Setiap orang memiliki persepsi dan pandangannya masing-masing. Dia tidak dapat dikekang oleh siapapun. Seseorang tidak bisa memaksanya untuk meyakini sesuatu yang tidak dia yakini. Sesuatu yang dianggap baik buat seseorang, belum tentu baik pula bagi orang lain.
Sebagian orang pantas hidup dalam keadaan berada, sebab jika dia miskin, boleh jadi dia ingkar kepada Pencipta. Sebaliknya, ada juga yang patut hidup dalam kondisi pas-pasan. Sebab jika dia kaya, boleh jadi itu menjadi petaka baginya.
Sahabat..
Indahnya pelangi itu karena warna-warni yang mengitarinya. Variasi warna yang membauri sebuah lukisan, membuat ia semakin mempesona dipandang mata. Demikian halnya jemari yang melengkapi tangan kita, diciptakan berbeda karena fungsinya yang tidak sama.
Saudara. .
Dari sini kita bertolak, kita menyadari bahwa perbedaan manusia sama sekali bukanlah agar seseorang berbangga diri dari yang lain, satu suku merasa lebih baik dibanding suku yang lain, ataupun satu pandangan dianggap lebih hebat dari selainnya. Perbedaan itu tercipta, karena manusia perlu saling melengkapi, saling bersinergi, berkompetisi dalam kebaikan dan saling meringankan.
Sahabat...
Ukuran seseorang dikatakan lebih baik dari orang lain hanyalah karena TAKWA, tidak yang lainnya.
Sungguh sikap bijak itu adalah ketika kita mampu berinteraksi dengan baik, berfikir terbuka dan tidak inklusif dengan keragaman yang ada. Sebab keragaman itu adalah sunnatullah. Frame-frame yang sempit hanyalah akan menghasilkan pilihan-pilihan sempit pula. Memahami orang lain bukan berarti harus menerima pendapatnya. Jika anda tidak berbeda, tentu orang lain juga tidak berbeda. Dan jika ada dua orang yang persis sama, tentu salah satu dari keduanya tidak akan berguna.
Sahabat...
Kerukunan dan kondisi saling memahami itu lahir dari rasa persaudaraan yang kuat, jiwa yang bersih, dada yang lapang, sikap senasib sepenanggungan, cinta, kasih sayang dan saling bernasihat dalam kebenaran dan kesabaran.
Kerukunan itu adalah pengakuan terhadap eksistensi hidup di dalam bingkai masyarakat yang satu, tempat yang satu dan keinginan yang satu. Kerukunan itu lahir karena adanya agama, kewibawaan, rasa malu, harapan dan kekhawatiran yang sama.
Sahabat...
Siapapun kita, menanamkan sikap tenggang rasa dan hidup rukun adalah pendorong prestasi dan cita-cita kita, baik secara pribadi maupun kolektif. Dengan semangat ini kita mampu menyibak segala rintangan dan hambatan yang ada di hadapan kita. Oleh karena itu, kita mesti berusaha untuk senantiasa mengikat hati dan menyatukan jiwa.
Ada satu kaidah yang mesti kita camkan di dalam konteks hidup bermasyarakat. Bahwa mengambil hati itu jauh lebih didahulukan daripada menyatukan sikap dan pandangan. Menyatukan hati itu lebih utama daripada menyatukan gagasan.
Sahabat...
Mari kita bercermin kepada sirah Nabi saw.
Ketahuilah, bahwa syariat ini dengan seperangkat hukumnya tidaklah turun, melainkan setelah masyarakat muslim (Muhajirin dan Anshar) sudah berada dalam kondisi stabil, berbaur dengan seluruh entitas yang ada di Madinah. Para ulama menyebut, bahwa salah satu dari maqashid hijrah adalah untuk membangun tatanan masyarakat islami yang bernaung di bawah naungan Negara Islam.
Masyarakat Madinah saat itu adalah cerminan masyarakat yang hidup rukun, meskipun ada perbedaan keyakinan di dalamnya. Di sana ada kaum muslimin, orang-orang munafik, Yahudi dan lainnya.
Bahkan ketika orang-orang munafik sudah kelewat batas di dalam menistakan Islam, para sahabat meminta izin kepada Nabi untuk memerangi mereka, namun sang Nabi saw hanya berkata, "Aku khawatir orang-orang kafir itu nanti akan berkata bahwa Muhammad membunuhi sahabatnya sendiri". Betapa agungnya ungkapan ini.
Potret kehidupan para sahabat adalah contoh sangat ideal bagi sikap saling memahami dalam keberagaman. Mereka menutup rapat aib saudaranya. Tidak ada tindakan mencari-cari cacat dan salah orang lain. Mereka berkonsentrasi membimbing manusia menuju jalan petunjuk.
Mereka tidak suka mengumbar kesalahan para ulama. Jikapun itu harus dilakukan, maka hal itu untuk menjelaskan kebenaran, dan dalam konteks tarjih (memilih yang lebih tepat) bukan tajrih (menjatuhkan nama baik).
Bahkan sang Nabi saw pernah bercerita bahwa beliau pernah menyaksikan satu kesepakatan yang lahir dari sebuah koalisi tokoh-tokoh Quraish. Beliau bertutur, "Aku menyaksikan suatu koalisi di rumah Abdullah bin Jud'an. Koalisi semacam ini lebih aku sukai daripada unta merah (harta yang sangat berharga). Kalaulah di dalam (masa) Islam aku diajak untuk mengikutinya, maka sungguh aku akan menghadirinya." Koalisi tersebut tiada lain menghasilkan kesepakatan untuk membantu orang yang terzalimi, menjaga hak masyarakat, memelihara kemaslahatan umum dan menolong orang yang lemah.
Sahabat...
Berinteraksi secara bijak itu adalah bergaul dengan semua lapisan masyarakat, tidak terbatas pada agama maupun mazhab tertentu. Sebab diperlakukan dan dimuamalahi secara baik merupakan hak semua orang. Allah berfirman, "Katakanlah kebaikan bagi manusia" (QS. Al-Baqarah: 83)
Bermuamalah dengan bijak itu memerlukan kelembutan, sikap adil, senyum, santun, prasangka baik, penghormatan dan penghargaan kepada orang lain. Sebab anda tidak mampu menjaga diri anda sendiri, jika anda tidak memelihara saudara dan sahabat anda. Seseorang itu kecil dengan kesendiriannya, namun ia besar bersama saudara-saudaranya.
Kehidupan ini tegak karena adanya harmoni dari keberanekaragaman makhluk, bukan dengan homogenitas dan individualisme. Usaha menyamaratakan manusia dengan satu corak pemikiran, satu model cara pandang dan menafikan keberagaman adalah menyelisihi sunnatullah. Adapun membuka dialog dan diskusi, saling memahami dan sharing wawasan bukanlah dalam rangka mendikte dan memaksakan pendapat.
Sahabat, semoga kita dapat bersikap bijak dengan keberagaman yang ada, saling memahami dan merespon semuanya selalu dengan bingkai al-Quran dan bimbingan Nabi saw.

SEKIAN
Serambi Masjidil Haram, 24 Jumadal Ula 1437 H
Ahmad Musyaddad Lc.MA

Kamis, 03 Maret 2016

Yayasan Daarul Mushlihin Kendal

Dari Ibnu Umar ra, Rosululloh SAW Bersabda : "Tidak boleh iri, kecuali kepada dua hal, yakni seseorang yg di anugerahi nikmat hafal Al-Qur'an oleh Alloh SWT, lalu dia baca baik pada malam hari maupun siang hari. Dan seseorang yg dianugerahi harta oleh Alloh SWT, lalu ia infaq-kan pada malam hari maupun siang hari" (HR. Bukhori-Muslim)
.
.
.
Rekening Donasi untuk pembangunan Masjid Ar-Roudloh, Kalibogor, Sukorejo, Kendal. Jawa Tengah:
BSM : 7024026943 a/n Ahmadi
BNI Syariah : 0104908141
a/n Ahmadi ( Pembina)
BRI :7528-01-000618505 a/n Siti Baroroh (Bendahara)
MANDIRI :136-00-14597857
a/n Siti Baroroh
.
.
Ustadz Ahmadi Usman
Pembina

lokasi google maps
click gambar untuk melihat di google maps

lokasi google maps